Rabu, 09 Maret 2016

Terinspirasi Bung Karno, Kirim Dosen ke Luar Negeri

SUDAH 35 tahun, Prof Dr Bambang Setiaji mengabdikan diri pada bidang pendidikan dan ekonomi. Namanya semakin melejit, karena sering melontarkan ide-ide yang membangun untuk masyarakat.

Baru setengah jam tiba di ruangan, ponsel Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu berdering. Sembari menyeruput teh hangat, pria kelahiran 24 Desember 1956 itu, bergegas ke mobil.

Langit Kota Solo yang masih mendung, dan jam sudah menunjukkan pukul 09.00, tidak menyiutkan langkahnya. Saat itu, dia mengawali aktivitasnya dengan membuka acara di GOR UMS dan Lorin Solo Hotel.

”Setiap hari padat,” katanya mengawali pembicaraan dengan Suara Merdeka. Sejak muda, Bambang terbiasa dengan kesibukan. Apalagi suami dari Menuk Hardiningsih itu, mengawali karier dari bawah, dengan menjadi pendidik di STM Muhammadiyah (1981).

Baginya, kedudukan sebagai orang nomor satu di universitas swasta terbesar di Solo itu merupakan investasi dari perjuangan dalam meniti karier. ”Saya selalu memiliki hasrat membangun yang berkobarkobar dan terobosan dalam bidang yang saya geluti. Seperti Bung Karno,” tutur dia.

Benar saja, bapak enam anak yang menjabat rektor sejak 2005 itu, rupanya mengawali tradisi di UMS dengan aktif mengirim dosen-dosen muda ke luar negeri. Menurut alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) 1983 itu, ada sejumlah negara yang menjadi tujuan selama 11 tahun ini. Yakni Inggris, Australia, Korea Selatan dan Taiwan. ”Agar anak-anak muda, memiliki pemikiran global.

Pada tahun pertama dulu, ada sekitar 80 dosen muda,” jelasnya bangga. Tradisi tersebut, masih dipertahankan oleh pria yang menyabet gelar master dan doktor bidang ekonomi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu.

Tidak hanya terinspirasi oleh tokoh-tokoh pendahulu di Indonesia dalam mengembangkan pendidikan di lingkup perguruan tinggi (PT). Kegigihannya, mengalir dari jiwa orang tuanya, Tentrem dan Harsono (Alm) yang merupakan pendidik di Pacitan. ”Kemudian saya sangat menghargai dan konsen ke pendidikan,” ungkapnya.

Alhasil, salah satu terobosan itu meningkatkan kualitas dan kuantitas universitas yang dipimpinnya. Saat 2005, hanya ada 11 ribu mahasiswa. Sementara saat ini, meroket menjadi 28 ribu. Bahkan, jumlah fakultas dan program studi (progdi) terus bertambah.

Melihat perkembangan tersebut, pria yang meraih gelar profesor pada 2001 itu, membuat program-program baru dalam perkuliahan. ”Saya kumpulkan dekan dan dosen untuk menggodok program nyata bagi mahasiswa,” terang dia.

Membangkitkan UKM dan Pengusaha Program nyata itu, menurut Bambang, menjadi gerakan perubahan untuk meningkatkan kualitas lulusan. Di antaranya mewajibkan dosen memiliki usaha kecil dan menengah (UKM). Karena UKM, menjadi penggerak roda perekonomian di Bumi Pertiwi.

Bahkan, mahasiswa didorong tidak hanya membuat karya tulis ilmiah. Tetapi diharapkan berkolaborasi dengan dosen, dalam menciptakan UKM baru. ”Kami ingin mencetak banyak entrepreneur baru di berbagai produk kebutuhan,” akunya.

Bambang yang juga anggota Dewan Pakar Ekonomi Syariah Pusat dan dan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Solo itu, mengaku tidak hanya konsen dalam pendidikan secara umum. Namun bidang ekonomi menjadi garapan serius bapak enam anak itu. Apalagi saat ini, pintu gerbang dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah dibuka.

Tidak tanggung-tanggung, pria yang gemar berjalan kaki itu, bertekad mencetak para pengusaha muda yang mencintai Bumi Pertiwi. Maka dari itu, mulai tahun ini Bambang menyisipkan mata kuliah 4 SKS berupa Sekolah Kebangsaan dan Pengusaha.

Menurutnya, mata kuliah itu untuk menjawab tantangan saat dewasa ini. Karena jumlah pengusaha di Indonesia, masih sangat kurang. Mata kuliah tersebut menjadi salah satu jalan untuk membangkitkan minat mahasiswa dalam berwirausaha.

Tetapi mereka dilandasi dengan pemahaman politik dan kebangsaan. Universitas turut mengundang para pengusaha dari berbagai bidang, untuk membagikan ilmunya pada mahasiswa. Pria yang gemar menulis di kolom surat kabar itu menambahkan, dengan bertambahnya pengusaha dari lulusan universitas, maka akan menjadi solusi bangsa.

Karena harus disadari, pengguran masih cukup banyak. ”Ini menjadi kepedulian civitas kampus. Bagimana kami menjadi solusi bagi negara dan masyarakat. Jika pekerjaan melimpah, kemiskinan akan berkurang,” tuturnya. (Asep Abdullah-90)

UMS Konsisten Ciptakan Generasi yang Berkualitas

UMS - Pasar tenaga kerja akhir-akhir ini menjadi masalah pelik yang harus dihadapai oleh para pendidik dan para akademisi. Banyaknya lulusan  Universitas berbanding terbalik dengan ketersediaan lapangan kerja yang sepadan dan sesuai dengan pendidikan yang telah ditempuh. Ratusan juta orang berharap mendapat pekerjaan yang layak. Akibatnya persaingan untuk dalam memperoleh pekerjaan yang berkualitas pun tak terhindarkan lagi.
 
Rektor UMS, Prof. Bambang Setiaji menanggapi, bahwa dengan masalah keterbatasan lapangan pekerjaan tersebut menjadi acuan pihak pendidik untuk membuat inovasi baru.  “Setelah Raker (Rapat Kerja, -red), kurikulum baru akan di susun”, terangnya.
 
Perencanan penyusunan Kurikulum baru, lanjut Bambang, mengacu pada visi dan misi UMS, yakni menjadi universitas yang maju dalam bidang Pengetahuan, Keilmuan dan Teknologi. Pengembangan kurikulum tersebut diharapkan akan menjadi acuan dan roadmap pendidikan di UMS dalam rangka untuk membentuk karakter mahasiswa dan mencapai visi misi UMS.
 
Lebih lanjut dirinya menyatakan, selain perubahan dan pengembangan kurikulum, mahasiswa juga harus dididik menjadi pribadi yang tangguh. Singkatnya, mahasiswa dididik dan diarahkan agar mempunyai etos kerja yang tinggi, disiplin dan memegang teguh tanggung jawab yang telah diamanahkan. “Bagaimanapun, orang tua mahasiswa pasti berharap anaknya mendapatkan pekerjaan yang berkualitas. Kami sebagai fasilitator dan pendidik sudah sepantasnya memberikan yang terbaik untuk mahasiswa”, tuturnya ramah. 
 
Dirinya menambahkan, dengan perubahan dan pengembangan kurikulum, disisipkan materi-materi yang diharapkan bisa menggugah dan memacu mahasiswa untuk memiliki semangat juang yang tinggi demi memenangkan pasar kerja yang berkualitas. “Kami berharap dapat membentuk kepribadian mahasiswa yang lebih berpikiran kritis, mempunyai daya nalar yang baik, berani mengambil keputusan, dan berani menanggung resiko namun tetap berpegang pada budaya luhur yang maju, yang tetap kokoh dalam keimanan dan keislaman”, ujarnya optimis. (rsv)

About Me

Pria jangkung, berpembawaan kalem, tenang penuh wibawa ini sarat prestasi. Tokoh berpandangan luas dan optimis menapak masa depan ini bernama Prof Dr Bambang Setiaji,MS. Masa kanak-kanak sampai menamatkan Sekolah Menengah Atas di habiskan di kota kelahirannya Pacitan, Jawa Timur. Barulah ketika kuliah S1 ditekuninya di Kota Solo tepatnya di Universitas Sebelas Maret (UNS), karena di Pacitan pada waktu itu belum ada perguruan tinggi. 
Ketika kuliah di UNS lah Bambang muda bertemu dengan dara Solo Menuk Hardiningsih adik kelasnya di UNS, benih cintanya terus berkobar sampai akhirnya berlanjut kejenjang pernikahan. Dari buah cintanya ini Bambang dikaruniai enam orang anak yang saat ini sudah dewasa bahkan Bambang kini telah dikaruniai beberapa orang cucu. 
Sebagai seorang muslim dalam membina rumah tangga, Prof Bambang dan isteri selalu manjalaninya dengan mengedepankan ajaran Rosulullah dan menjadikan keluarga menjadi kaluarga yang bernuansa Islami, dengan menjalankan syariat Islam secara kaffah. 
Bahkan Prof Bambang dan keluarganya, rela Rumah gebyok miliknya dijadsikan perpustakaan, sementara saat ini masih dijadikan kantor. Di samping kiri ada bangunan modern tempat para santri menuntut ilmu akuntansi di Pesantren Al Es'af STIE Swastamandiri. 
Prof Dr Bambang Setiaji, MS lahir 24 Desember 1956 di Pacitan tepatnya Kecamatan Tulakan 25 kilo ke Timur dari Pacitan. Sekolah Dasar (dulu Sekolah Rakyat) dan SMP ditempuh di Tulakan. Kemudian SMA pindah ke Pacitan. "Jaman dahulu di Pacitan hanya ada satu SMA. Maka semua anak Pacitan yang masuk SMA, di SMA itu. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono juga bersekolah di situ, maka saya se-alumni dengan Bapak Presiden SBY," kenang Bambang Setiaji. 
Untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Pacitan bukan dijangkau dengan mudah, karena perjalanananya, cukup jauh dan berliku. Beruntung dengan kemauan dan kesungguhan hati yang kuat semuanya dapat saya lalui dengan baik. "Manjadda Wajada. Siapa bersungguh-sungguh akan berhasil, " ungkap Prof Bambang mengenang pesan yang sering diucap ibu yang sangat dihormatinya. 
Putra kedua pasangan Pak Harsono seorang guru SD-Kepala Sekolah SD Tulakan I-Ibu Tentrem ibu rumah tangga, selanjutnya berkata dengan anak delapan berprofesi sebagai Guru SD dan Kepala Sekolah dan seorang ibu rumah tangga kehidupan orang tua saya pada waktu itu cukup berat. Bahkan susah bila anak-anaknya ingin mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. "Untuk mewujudkan keinginan saya kuliah diperguruan tinggi. Maka saya dititipkan ke Bulik di Solo. Ikut Bulik, membantu keluarga Bulik, sambil kuliah," kenangnya. 
Memahami keterbatasan orang tua, Bambang muda, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta nyambi bekerja "Sebelum lulus saya sudah bekerja dimana-mana di lingkup Fakultas Ekonomi-UNS. Mulai semester enam saya bekerja di sebuah biro riset sehingga saya ditugaskan ke desa-desa sampai akhirnya lulus S1 (Drs) tahun 1984-Fakultas Ekonomi jurusan Ilmu Ekonomi Study Pembangunan," ungkap Prof Bambang. 
Jenjang karir Prof Bambang Setiaji, MS sejak awal ia telah beregelut dalam bidang pendidikan mulai sebagai guru. Dari guru SMP, guru SMA khususnya SMA Muhammadiyah. Kemudian pindah ke Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), menjadi dosen. Di UMS, ia diberi kesempatan menempuh pendidikan S2 dan S3 di Universitas Gajahmada. Gelar MS diraih tahun 1989. Sedang Doktor (S3) Bidang Study Ilmu Ekonomi diraih tahun 2001. 
"Saat mengambil S3, saya Sandwich di Universitas Monash Australia (1998) satu semester, untuk mencari pengalaman diluar negeri," tambahnya. Dan Guru Besar-Profesor disandangnya tahun 2003 . Prof Bambang Setiaji, MS, bersyukur selama di UMS mempunyai karir yang baik. Pernah memimpin unit press, sehingga mengenal cetak-mencetak, mengenai buku maupun lembaga penerbitan UMS. Pernah jadi Dekan Fakultas Ekonomi, pernah jadi Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat. 
"Pada saat Prof Malik Fajar (dulu menteri Agama RI), menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, saya diangkat menjadi Wakil Rektor. Dan mulai Juli 2003 dipercaya memimpin Pasca Sarjana-UMS. "Setelah itu saya menjadi Rektor di UMS mulai 1 januari 2005 berakhir 2008 bulan Desember atau 1 Januari 2009 kalau tidak diperpanjang lagi," urai Prof Bambang Setiaji MS saat bincang-bincang dengan Majalah Gemari, usai acara Ulang Tahun Prof Dr Haryono Suyono ke-72 pada 5 Mei 2010 lalu. 
Meski pendidikan menyita hampir seluruh waktunya, belakangan ini Prof Bambang juga menekuni dunia perbankkan. "Muhammadiyah mempunyai Bank Syariah dan saya ditugaskan menjadi wakil Muhammadiyah di perbankkan itu. Saya khusus di bank syariah karena bank syariah ini dekat dengan rakyat. Saya berkiprah disitu dan Insya Allah mulai Januari saya diangkat menjadi dewan pengawas syariah di Bank Jateng," ungkapnya. 
Meski sibuk dengan berbagai kegiatan di UMS maupun kegiatan kemasyarakatan lainnya, namun keluarga tidak pernah terlupakan. Itulah manfaat telah tumbuhnya saling pengertian yang baik antara saya dengan isteri, karena intinya sebuah keluarga yang sakinah adalah tumbuhnya saling pengertian dan saling mengisi dalam pelaksanaan pola asuh terhadap anak-anak. 
Dalam membina rumah tangga dan mengasuh anak-anak saya memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk menentukan pilihan mereka sendiri-sendiri yang penting mereka bisa bertanggung jawab dengan apa yang telah mereka pilih. 
Tentang guru sebagai profesi pilihan, disebutkan sepertinya di bawah sadar kita terpola seperti itu. Kakek mbah Darmowiyoto-guru, ayah Pak Harsono-guru, saudara sekandung juga guru (1.Sugeng- guru di SMP di Mojokerto, 2.Bambang Setiaji-Guru Besar, 3. Sutri Sulastri- guru SD di Cakung Jakarta, 4. Priyono-guru SMP Pacitan menempati 'keprabon' (rumah leluhur),5.Widodo- guru SMP di Surabaya,6. Trimurti Stri Waliani- guru SMA di Surabaya, 7. Slamet Suadi dulu menjadi tatausaha di pesantren ini, bukan guru tetapi istrinya guru,8. Arjito menjadi dosen). 
Bambang Setiaji yang mempersunting Menuk Hardiningsih, putri pasangan Pak Maribi-Nuryaningsih (Seniman tari klasik terkenal dari Surakarta Hadiningrat, yang sering manggung di kraton, Istana Negara di Jaman Bung Karno dan Pak Harto, bahkan melanglang buana ke luar negeri), dikaruniai enam anak (Ibrahim Fatwa Wijaya SE-tamatan Akuntasi UGM- kini Direktur Pesantren Tinggi Al Es'af, Dina Estova-Sastra Arab UGM-(sudah menikah punya anak satu), Anisa-Fak.Farmasi UMS, Ali Muhammad Sidiq-SMA, Yusuf Sifarohman- SD, dan keenam Raihan-TK. "Raihan sejak umur sebelas bulan diambil anak oleh adik istri. Meski tidak ikut saya tetapi memanggil saya masih bapak ," tambahnya. 

Dukungan istri 
Sebagai seorang Isteri, Menuk Hardiningsih kata Prof.Bambang merupakan sosok seorang isteri yang baik dan sempurna bagi anak-anak yang dilahirkannya. Beliau setia mendampingi suami yang begitu sibuk di kegiatan masyarakat dari kalangan bawah sampai atas dan dari umum dan ulama. 
"Kita memang berjuang berlandaskan agama untuk kemajuan keluarga-keluarga Indonesia. Maka ia mendukung semampunya dan berdoa. "Walau Ia bukan seorang ilmuwan, tetapi bekerja keras membantu suami "sendiko dawuh" (siap melaksanakan tugas) demi kemajuan. " tambah Bambang sembari berharap anak didik Isterinya di pesantren Al Es kelak menjadi seorang akunting jujur dan berkualitas. Agamanya bagus, akhlaknya bagus sehingga mampu membina umat meraih kepentingan dunia dan akhirat. 

Apakah Harus Malu di Sebut Negara Pembantu!!

Prof. Bambang Setiaji Dalam kesempatan berkunjung ke Timur Tengah, penulis terkejut melihat kenyataan hampir 300an tenaga kerja wanita (TKW) melarikan diri dari rumah majikan dengan berbagai persoalan dan latar belakang yang berbeda dan akhirnya ditampung berdesakkan di ruang bawah di KBRI setempat. Ruang itu sendiri tidak terlalu luas, dan tidak manusiawi, tetapi apa boleh buat. Kemampuan KBRI menjamu dan memulangkan para TKW tersebut juga sangat terbatas. Saat ini kita sedang moratorium pengiriman TKW ke Timur Tengah mengingat banyaknya persoalan. Duta besar juga sudah kewalahan mengurus TKW dengan pesan jangan masuk lagi ke Timur Tengah, silakan ke negara lain yang lebih maju. Duta besar juga menyatakan bersinggungan dengan TKW sangat dekat dengan kriminal. Pada saat moratorium terjadi, ternyata TKW masih berdatangan dan tentu saja dengan pelatihan baik bahasa, pengenalan budaya, dan ketrampilan mengurus rumah tangga yang makin kurang karena ilegal. Kontrak antara pengirim dan majikan juga tidak jelas, pikiran buruk kita berkata jangan jangan kontraknya menempatkan TKW sangat tidak menguntungkan, misalnya menyerupai budak belian. Keberadaah TKW diasumsikan atau dipersepsi sebagai menjatuhkan citra bangsa, sehingga turis tidak datang dan lebih lebih untuk belajar ke perguruan tinggi di Indonesia yang beberapa sebenarnya sangat bagus dan berkualitas. Itu semua adala asumsi dan bukan merupakan hasil penelitian yang representatif. Bekerja Sebagai Hak Asasi Bekerja merupakan hak asasi yang harus dipenuhi, bahkan negara sebenarnya berkewajiban menyediakan lapangan kerja yang layak sebagaiamana amanat konstitusi. Faktor faktor pendorong terutama ketatnya persaingan untuk memeroleh pekerjaan di dalam negeri disertai tanah pertanian yang diwaris makin lama makin kecil misalnya hanya 0,1 hektar, jelas tidak bisa untuk menghidupi sebuah keluaraga. Tenaga kerja wanita bahkan banyak di antaranya seorang ibu rela meninggalkan suami dan anak anaknya untuk mengadu nasib di negeri yag gersang, keras, dan jauh baik secara phisik dan budaya. Namun, bekerja adalah hak asasi di tambah kesulitan mencari peluang di dalam negeri dan juga rendahnya upah di dalam negeri, bekerja ikegalpun terpaksa menjadi pilihan. Dan kalau ini menjadi pilihan, sangat potensial menjadi permasalahan yang membebani KBRI setempat. Tidak ada jalan lain untuk membantu TKW sebaiknya mereka di latih kembali serta didisiplinkan dan diberi perlindungan. Untuk memperbaiki kontrak dan pelaksanaannya yang tidak jelas maka kontrak harus dibuat lebih formal. Kecuali TKW yang dididik dan diformalkan, para pengguna di negara yang kurang berkembang seperti di Timur Tengah, Malaysia, dan Singapura juga perlu dididik cara cara menggunakan tenaga kerja bahkan di dalam negeri juga perlu di edukasi dengan undang undang. Kontrak yang lebih formal ini terutama mengangkut hak dan mewajiban serta diskripsi tugas serta batasan jam kerja yang jelas. Di negara maju, TKW dihormati sebagai pekerjaan yang layak, yang disebut home care yang umumnya dilakaukan secara part time yaitu sebagai pekerja rumah tangga ketika tuan rumah pergi bekerja. Mahasiswa doktor Indonesia banyak yang melakukan lekerjaan home care tersebut. Industri Pembantu Rumah Tangga Dengan profesionalisasi, kita tidak perlu malu untuk disebut sebagai negara supplier pembantu, caranya adalah dengan memaksakan kontrak formal, memakai uniform yang memberi image sebagai pekerja profesional, jam kerja yang jelas dan harus pulang ke rumah bersama yang wajib diadakan oleh PJTKI. PJTKI juga wajib menyediakan mobil antar jemput untuk kota kota yang angkutan umumnya belum berkembang. Para pengguna juga harus memperoleh pencerahan atau pemberadaban. Pemerintah setempat tentu juga tidak suka disebut memiliki keluarga keluarga yang memperlukan pekerja dengan perlakuan kurang beradab. Hal itu akan memberi image negara yang masih melegalkan praktek yang mendekati perbudakan. Problem problem TKW bukan hanya mencoreng negara pengirim sebagai negara pembantu, tetapi bagi negara penerima juga tercoreng apabila menggunakan industrial relation standard yang rendah. Hal tersebut mencerminkan ketidak majuan atau ketidak beradaban, lebih lebih kalau dipersepsi masih melegalkan perbudakan yang tentu ingin dihindari oleh negara penerima. Mengingat keterbatasan pekerjaan di dalam negeri sementara angkatan kerja baru selalu bertambah setiap tahun dengan tingkat pendidikan makin tinggi dan makin bervariasi. Mungkin diperlukan SMK jurusan home care, mereka bisa bekerja di rumah tangga, tetapi bisa juga ke bagian tertentu di perhotelan. Dengan mengirim TKW yang lulus SMK dengan modal bahasa yang lumayan, industri pembantu bisa menjadi penyelamat neraca perdagangan internasional yang akhir akhir ini defisit. TKW juga memiliki karier, peringjat pertama mereka yang pergi ke Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah, peringkat atasnya pergi ke Hongkong, Taiwan, dan Korea. Peringkat atau pangkat tertinggi apabila bisa masuk ke Jepang, Australia, Eropa, dan Amerika. Di negara negara terakhir ini mereka sangat dihormati dan pemilik rumah sangat merasa berterima kasih kepada para pekerja home care. Lintas pekerjaan ke layanan hotel dan pekerjaan pekerjaan lain juga dimungkinkan setelah para TKI mengenal bahasa dan budaya setempat. TKI merupakan intruder pasar kerja, budaya, bahkan agama ke negara negara lain. TKI masih jauh lebih beruntung daripada bangsa afrika yang dibawa ke Eropa dan Amerika yang akhirnya melahirkan Presiden Obama. Dalam jangkan panjang mereka merupakan duta bangsa yang sangat menguntungkan di sama depan. Di kota kota besar di dunia selalu terdapat Chinese Town dan hal itu terbukti membawa sukses bisnis China di seluruh dunia, dan membawa China menjadi raksasa ekonomi dewasa ini. Indonesia Town atau Indonesia enclave sangat dimungkinakan di masa depan melalui pengorbanan dan perjuangan TKI yang dampak negatifnya bisa kita kurangi di era sudah menghilangnya perbudakan bahkan di era di mana negara negara tentu tidak ingin di sebut sebagai memiliki industrial relation yang buruk. Jadi kata kuncinya adalah industrikan TKW, kita formalkan, bahkan kita buat SMKnya.

Pacitan Penuh Potensi, Maksimalkan Anggaran di Sektor-Sektor Kunci

Masyarakat Pacitan, sepertinya tidak bisa lepas dari tegalan atau hasil-hasil tanaman keras. Sebab, sawah sangat sedikit di sana. Kalau pun ada, mungkin hanyalah pertanian tadah hujan. Potensi tanaman keras tersebut, kemudian berkembang pada hasil-hasil yang bersifat ekonomis. Di Pacitan, saya lihat sudah ada pabrik tripleks. Itu bagus. Masyarakat menanam Sengon, lima tahun panen dan sudah ada pabriknya. Tentu ini potensi luar biasa. Dan, kondisi ini harus digenjot lebih maksimal.
Persoalannya kemudian, tentu petani tanaman keras ini tidak bisa menunggu sampai lima tahun panen. Di sinilah, perlu upaya menggandeng investor-investor. Atau membangun jalinan kerjasama dengan banyak pihak. Orang luar negeri banyak, dari dalam negeri juga saya kira tak kalah banyak.
Mungkin sistemnya menyewa atau bagaimana, supaya dalam masa tunggu (panen) lima tahun itu, petani bisa memiliki pendapatan. Meski hanya Rp 300 Ribu atau Rp 400 Ribu per bulan, yang penting ada pemasukan. Dengan demikian, petani bisa bertahan hidup. Sebab, yang saya amati, petani tanaman keras di Pacitan yang bisa bertahan selama lima tahun, selama menunggu masa panen tersebut, adalah mereka yang memiliki pendapatan.
Mungkin, investor tersebut menyediakan bibit, petani yang merawatnya. Tetapi, selama proses perawatan, petani mendapat semacam gaji. Ya, sebatas untuk bertahan hidup saja. Kemudian pada saat panen lima tahun mendatang, mendapatkan bagi hasil penjualan tanaman tersebut. Artinya, di sini perlu diciptakan sistem-sistem yang bisa membantu rakyat.
Dalam kondisi ini, Pacitan bisa juga menjadi supplier. Misalnya untuk industri tripleks dan rangkaiannya. Banyak potensi pekerjaan yang bisa digarap dalam industri pembuatan tripleks ini. Sehingga, penyerapan tenaga kerja juga lebih banyak.
Itu mungkin potensi untuk wilayah seperti di Kecamatan Tulakan, atau daerah-daerah atas.
Sedangkan daerah di bawah, mungkin pertanian padi masih bisa dikembangkan. Yang panen antara dua hingga tiga kali dalam setahun. Sayangnya, areal persawahan di Pacitan juga tidak terlalu luas. Justru yang banyak adalah pegunungan kapur selatan. Sehingga, melihat kondisi ini, harus dipikirkan tanaman apa sebenarnya yang cocok untuk ditanam.

Potensi Sektor Non Pertanian
Ikan adalah kekayaan luar biasa. Saya masih sering ke Pacitan beli ikan, kemudian dibawa pulang. Keberadaan cold storage mungkin sangat membantu, karena ikan bisa bertahan cukup lama.
Perlu diketahui, ikan itu makanan hebat, makanan lux. Mahal sekali. Terlebih udang. Apabila daging ayam per kilogramnya hanya sekitar Rp 30 Ribu, Ikan Tenggiri bisa mencapai Rp 80 Ribu. Jadi harganya dua kali lipat dari daging ayam.
Selain itu, sektor pertambangan, utamanya Galian C, saya kira juga bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat Pacitan. Kemudian sektor lain, seperti jasa-jasa perhotelan hingga restoran. Meski kedatangan turis belum terlalu bisa diharapkan, namun sektor pariwisata banyak yang bisa dijual.
Misalnya jika ingin ke Lorok, bisa melalui Jalur Lintas Selatan (JLS), melewati pantai-pantai pesisir selatan yang indah. Atau potensi pariwisata di Pantai Klayar dan sebagainya. Itu semua bisa dijual. Dan kedatangan wisatawan, tentu menjadi pemasukan tersendiri bagi rakyat. Mereka bisa menjual makanan, jual cenderamata, hingga menyewakan hotel dan restoran. Itulah sektor-sektor ekonomi.
Berkaitan dengan sektor perdagangan, mungkin antarwilayah di kecamatan, yang dilalui jalur seperti Pacitan-Solo atau Pacitan-Madiun hingga Pacitan-Trenggalek, jalan yang ada harus bisa diperlancar. Kita bisa mencontoh perkembangan pembangunan di luar Jawa, itu hebat sekali.
Di sisi lain, aspek kesehatan, tentu cukup penting. Bagaimana munculnya kepastian upaya preventif, hingga penanganan setelah sakit itu juga harus baik. Termasuk sistem-sistem kesehatan murah dan kesehatan gratis. Seluruhnya untuk menolong rakyat.
Tak kalah pentingnya, adalah sektor yang berkaitan dengan pembangunan jati diri manusia. Seperti pendidikan, harus terus ditingkatkan. Banyak orang Pacitan yang berhasil di luar. Ada pula presiden (SBY) yang lahir di Pacitan. Saya rasa itu sangat fenomenal dan cemerlang. Entah terjadi lagi atau tidak, pada 50 atau 100 tahun ke depan, wallahu’alam. Ada pula beberapa menteri berasal dari Pacitan, hingga beberapa rektor baik negeri maupun swasta. Seluruhnya berangkat dari pendidikan yang baik. Itulah sebabnya, pendidikan di Pacitan harus terus dimajukan.
Dan, aspek religiusitas, tentu wajib dipertahankan, ditingkatkan dan diperkuat. Sebab, dengan kondisi Pacitan sebagai daerah terpencil, apabila rakyatnya tidak karu-karuan dalam aspek religiusitas, tentu semakin membawa penderitaan.
Itulah kunci-kunci vital pembangunan di Pacitan. Saya kira, tidak mudah mengembangkan Pacitan. Daerahnya tandus, penduduknya berada di pelosok. Tidak gampang dan tidak banyak yang bisa dikembangkan. Sehingga, sekali lagi, pertanian itu adalah kunci. Sebab, jika petaninya memiliki uang, dia bisa membeli apa saja. Bisa membuka toko, dan membuka peluang pendapatan di sektor lain. Itu apabila petaninya memiliki uang.
Inilah konsep. Apabila hendak membangun, saya rasa harus dimulai dari pertaniannya terlebih dahulu dimajukan. Supaya petani ini memiliki pendapatan dari hasil bertaninya, cukup kebutuhan pokok dan bisa menggerakkan roda ekonomi yang lain.

Banyak Peluang Industri
Setelah semua aspek tergarap, seperti pertanian, kenelayanan, perikanan hingga pertambangan, mungkin bisa meningkat dengan pengembangan industri-industri kecil. Dengan harapan, mampu meningkatkan nilai tambah.
Contohnya seperti pengolahan hasil pertanian tanaman keras, dengan berdirinya pabrik tripleks atau industri pengolahan kayu sebagaimana diurai di atas. Mungkin juga industri pengolahan makanan. Misalnya singkong yang mentahnya hanya laku 300 perak, jika dijual dalam bentuk kemasan, harganya bisa sepuluh kali lipat per kilogramnya. Termasuk komoditi kentang, pisang, dan hasil budidaya lainnya. Yang nantinya mungkin bisa disurvei lebih lanjut oleh ahlinya.
Industri perikanan juga menjanjikan. Komoditi ikan, mungkin jangan hanya dijual ikan. Bisa diolah menjadi bakso ikan, abon ikan, tahu tuna, kerupuk ikan, serta turunan-turunannya. Tapi, penjualan ikan fresh juga jangan dikesampingkan. Seluruhnya harus dijual secara higienis, di bawah pengawasan pemerintah. Karena tanpa pengawasan, bisa saja diberikan zat-zat pengawet berbahaya. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan nasehat yang baik. Dibimbing pengetahuannya.
Selain perikanan laut, potensi perikanan darat di Pacitan juga potensial. Hanya saja, perlu pengelolaan, oksigenasi dan listrik yang baik.
Ketika industri kecil sudah mulai dijalankan, kemudian meningkat kepada industri ’’agak canggih’’ sedikit. Keberadaan kayu sebagai bahan baku, mungkin bisa diteliti lebih jauh. Di Pacitan ada SMIK atau SMK Perkayuan, mungkin bisa dilibatkan. Yang krusial kemudian, adalah market. Bagaimana bahan baku dari Pacitan ini bisa diekspor? Gunakan internet untuk ekspor. Itu baik sekali. Anak saya bermain ekspor hanya melalui internet, dan bisa terhubung ke seluruh dunia.
Sektor potensial lain di Pacitan, adalah industri kimia sederhana. Seperti pembuatan jamu dan sabun. Khususnya produk jamu ini, potensinya cukup besar. Tetapi kembali lagi, harus dalam pengawasan pemerintah. Supaya kualitas dan standar kesehatan bisa lebih terkendali.
Lainnya, sedikit lebih berat, mungkin bisa industri elektronika. Jika terealisasi, ini hebat sekali. Sebab, benar-benar menggunakan tenaga kerja yang besar. Tentu, jika ingin mewujudkannya, harus bekerjasama dengan investor. Kemudian setelah berdiri, industri lainnya ikut bergerak. Seperti pembuatan kertas untuk kardusnya. Di Pacitan banyak tanaman Sengon Laut, yang bisa digunakan sebagai bahan baku kertas tersebut.
Potensi industri lainnya, adalah yang bersentuhan dengan budaya. Batik Tulis Lorok, saya ingat potensinya juga baik. Berkembang lebih jauh, mungkin bisa juga industri garmen. Industri ini menyerap banyak tenaga kerja. Pemerintah bisa mulai memikirkan pembangunan industri garmen ini di Pacitan. Hanya saja, kendalanya mungkin pada biaya transportasi. Namun setidaknya, dengan kondisi Pacitan yang cukup besar, industri tersebut mungkin bisa mencukupi kebutuhan konsumsi lokal.
Dari sejumlah potensi-potensi yang terbuka lebar itu, sekarang tinggal tugas utama pemerintah, sebagai penyedia sarananya. Sebab, berkaitan dengan investor, supaya bisa datang ke Pacitan, mendirikan pabrik hingga menjadi ladang pekerjaan bagi rakyat, perlu dukungan banyak pihak. Perlu pelobi-pelobi tingkat tinggi yang bergerak. Tidak harus Pak Bupati saja. Mungkin bisa jaringan keluarga Pak SBY dan Partai Demokrat-nya. Atau para politisi-politisi.
Tentunya, supaya para investor ini berminat untuk datang, harus dipastikan adanya jaminan kemudahan berinvestasi di Pacitan. Sebab, investor juga mencari keuntungan. Misalnya pemerintah bisa memberikan harga tanah yang murah, atau perizinan cepat. Apabila perlu, Pak Bupati sendiri yang membantu mengurus izinnya.
Setelah peluang terbuka, tenaga kerja sebagai pilar industri saya rasa juga melimpah, dengan sumber daya manusia Pacitan. Apalagi didukung biaya hidup yang tidak terlalu tinggi. Syukur, seluruh bahan baku industri tersebut berasal dari Pacitan. Contohnya saja, industri pengolahan rumput laut, industri pengolahan ikan atau pengalengan ikan. Seluruhnya bisa tersedia di Pacitan. Sekali lagi, ikan itu makanan mahal. Dan untuk pengalengan ikan tersebut, mungkin bisa juga berwujud industri UMKM.

Pacitan Kemarin, Hari Ini dan Masa Depan
Sedikit bernostalgia. Saya melihat Pacitan saat ini, sangat jauh berkembang dibandingkan masa lalu, ketika saya kecil hingga beranjak remaja di sana. Yang paling maju dan fenomenal itu adalah masuknya listrik sampai ke pelosok desa. Dulu, di desa saya, listrik sangat minim. Sehingga, masuknya listrik ini tentu membawa dampak perubahan masyarakat yang luar biasa. Televisi bisa masuk, dan banyak hal bisa dilakukan masyarakat dengan listrik ini. Mungkin ada yang memanfaatkannya untuk membuat roti dan makanan ringan, las listrik, serta semua hal yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat Pacitan.
Selain itu, pengiriman anak-anak muda Pacitan ke luar kota maupun luar negeri, juga membawa dampak positif bagi Pacitan. Ketika ada keluarga-keluarga yang kurang mampu, setelah mengirim putra-putra terbaiknya belajar ke luar, atau bekerja di luar, justru bisa semakin sukses. Jangan salah juga, proses pengiriman uang dari luar negeri kepada keluarga di Pacitan itu adalah sektor yang tidak bisa diabaikan. Hanya saja, ketika ada persoalan tentang TKW atau TKI, saya rasa itu bagian dari risiko.
Begitulah Pacitan. Membangun Pacitan, harus dilihat lebih jauh. Sektor-sektor keuangannya, seperti APBD dan PAD ditambah Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, mungkin tidak terlalu besar untuk mencukupi pembangunan di Pacitan. Namun, anggaran yang tidak terlalu besar itu, bisa efektif digunakan, apabila dialokasikan untuk sektor-sektor kunci. Sektor utama sebagaimana terurai di atas.
Tetapi kembali lagi, mungkin yang paling potensial di Pacitan saat ini dan di masa mendatang adalah pertanian tanaman keras. Karena didukung kondisi Pacitan yang daerahnya berbukit-bukit. Salah satu tanaman keras dengan potensi tinggi adalah Gaharu. Ini adalah tanaman mahal sekali, karena digunakan untuk bahan baku minyak wangi. Di Indonesia, ada ahlinya dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang sering menjual Gaharu.
Itu hanya salah satu contoh yang mungkin cukup potensial untuk dikembangkan di Pacitan. Pemerintah mungkin bisa menghubungi Kementerian Kehutanan, supaya ada tim yang turun dan meneliti, tanaman-tanaman apa saja yang bisa dikelola di Pacitan. Mungkin Gaharu tersebut, atau Sengon Laut, atau tanaman keras potensial lainnya.
Setelah itu, kemudian ada sistem investasi dengan menggaet investor. Mungkin bibit bisa beli dari investor, petani lokal yang merawat. Tetapi, petani tersebut harus mendapat semacam gaji untuk bertahan hidup. Dan di akhir kontrak, para petani ini mendapatkan bagi hasil dari pemanfaatan tanaman tersebut.

Harapan Lebih Baik
Melihat kondisi pemerintahan di Pacitan saat ini, di bawah kepemimpinan Pak Indartato sebagai bupati, Pacitan cenderung stabil. Ketika stabilitas sudah terjaga, yang perlu dipikirkan adalah memaksimalkan potensi keuangan daerah yang ada. Memang tidak banyak yang bisa dilakukan. Namun, setidaknya seluruh anggaran tersebut harus bisa dialokasikan pada sektor-sektor yang sangat kunci dan strategis. Yang benar-benar memantik tumbuhnya ekonomi rakyat.
Jalan dan jembatan, juga harus menyentuh hingga ke kampung-kampung. Mengenai jalan kampung, saya punya sedikit cerita. Di Bojonegoro, jalan ke kampung itu tidak diaspal, tetapi dipaving. Setidaknya, dari upaya ini, industri paving rakyat mulai tumbuh. Yang memasang, juga tukang-tukang dari daerah setempat.
Dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa uang APBD daripada dibelikan aspal dan uangnya lari ke luar, lebih baik dibelikan paving produk masyarakat sendiri. Sehingga, di satu sisi rakyat gembira karena jalannya dipaving, dan sarana prasarana yang ada terpenuhi. Di sisi lain, industri pembuatan paving rakyat juga tumbuh, dan resapan airnya pun terjaga dengan baik. Mungkin, untuk itu, Pemerintah Kabupaten Pacitan bisa melakukan studi banding ke Bojonegoro. Dan setelahnya, pemerintah tinggal memikirkan hal-hal lain yang saling berkaitan seperti pola paving jalan tersebut.
Yang pasti, bagi pemimpin di Pacitan, saya berharap, dalam membangun Pacitan selalu berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Yang paling krusial adalah kebutuhan akan pekerjaan. Membangun UKM, UMKM, syukur industri menengah, atau bahkan industri-industri padat karya, harapan saya bisa ditumbuhkan di Pacitan. Sehingga rakyat memiliki pekerjaan. Dan yang tak kalah penting, pendidikan juga perlu diperbaiki. Karena bisa menjadi bekal bagi rakyat Pacitan, ketika hendak berkarya di mana pun, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Bagi masyarakat Pacitan, teruslah tumbuh. Carilah hal-hal kreatif. Saya yakin masyarakat lebih tahu, bidang apa saja yang bisa dikembangkan. Kami sebagai pengamat, biasanya bersifat teoritis. Sementara pemerintah sendiri juga tidak bisa menjadi motor bisnis. Karena masyarakat yang lebih tahu, kreativitas itu perlu terus dikembangkan. Namun, hati-hati ketika menggunakan modal yang terbatas untuk membuka peluang usaha. Pelajari dengan baik. Dan yang utama adalah ciptakan lebih banyak lapangan kerja, utamanya untuk generasi muda. Serta terus hadapi tantangan yang ada. Itu saja. Saya kira Pacitan akan menjadi lebih baik.